Share

Semua Orang Bisa Menciptakan Seni, Tapi tidak Semua Bisa Menghidupkannya

ARTNGALAM.ID, SENI-Di era ketika teknologi tumbuh lebih cepat dari pemahaman manusia terhadapnya, seni tak lagi semata hasil tangan dan rasa. Kini, ia juga bisa lahir dari baris kode, algoritma pembelajaran mesin, dan jaringan neural di dunia maya. Karya seni buatan Artificial Intelligence (AI) telah memasuki galeri seni, rumah lelang, hingga dinding ruang tamu. Namun, di tengah kekaguman pada kemajuan ini, muncul pertanyaan mendasar: Apakah seni yang diciptakan mesin masih bisa disebut seni? Dan apa pengaruhnya bagi seniman manusia?

AI: Seniman Baru di Kanvas Digital

Dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan dan merasakan lonjakan drastis eksplorasi AI dalam dunia seni. Mulai dari gambar digital yang dibuat oleh DALL·E atau Midjourney, puisi dari ChatGPT, Canva hingga musik dari AI tools seperti AIVA, Suno AI dan Amper Music. AI bukan hanya “membantu”, tapi sudah menciptakan, hemmmmm…

Antara Kreativitas dan Kecerdasan Buatan

Berabad-abad lalu seni dipahami sebagai wujud ekspresi jiwa manusia, pertemuan antara rasa, pikiran, dan pengalaman hidup. Maka, kehadiran AI sebagai “seniman” justru mengguncang definisi klasik itu. Apakah kecerdasan buatan bisa memahami emosi? Apakah AI tahu rasa kehilangan, cinta, ketakutan, atau nostalgia?

Jawabannya mungkin tidak. Tapi AI bisa mensimulasikan rasa itu berdasarkan kumpulan data yang dikurasi dari jutaan karya manusia sebelumnya. Inilah yang membuatnya menakjubkan sekaligus mengkhawatirkan: AI tak punya pengalaman, tapi bisa meniru emosi. Ia tak punya tubuh, tapi bisa menciptakan citra tubuh. Ia tak punya jiwa, tapi bisa menghasilkan bayangan tentang jiwa.

Peluang atau Ancaman bagi Seniman?

Bagi banyak seniman, kehadiran AI bisa menjadi alat bantu luar biasa. AI memungkinkan eksplorasi bentuk baru, mempercepat proses kreasi, bahkan memperluas imajinasi yang sebelumnya tak tergapai. Seniman bisa berkolaborasi dengan mesin bukan sebagai pesaing, tapi sebagai perpanjangan tangan ide-ide liar yang dulu terbatas oleh waktu dan teknis.

Namun, sisi lain dari koin ini adalah ancaman disrupsi terhadap orisinalitas dan profesi seniman. Ketika klien atau pasar lebih tertarik pada hasil cepat dan murah dari AI, bagaimana nasib ilustrator, desainer, komposer, hingga penulis?

Lebih jauh lagi, muncul perdebatan soal etika dan hak cipta. Jika sebuah karya diciptakan oleh AI, siapa pemiliknya? Apakah manusia yang menuliskan prompt? Atau perusahaan pencipta AI? Ini membuka ranah hukum dan filsafat yang sangat kompleks.

Pengaruhnya bagi Indonesia: Teknologi dan Tradisi

Di Indonesia, seni masih sangat terkait dengan warisan tradisi, spiritualitas, dan identitas komunitas. Ketika AI masuk ke ranah ini, kita perlu bersikap kritis. Apakah kita ingin batik dihasilkan oleh mesin? Apakah wayang bisa dikurasi oleh algoritma? Apakah puisi Jawa bisa ditulis oleh robot?

Teknologi AI bisa menjadi alat bantu pelestarian, misalnya untuk merekam, mendokumentasikan, atau mengarsipkan kesenian tradisional agar tak punah. Tapi seni tradisi bukan sekadar bentuk visual atau suara. Ia adalah pengalaman antar-generasi, perjumpaan tubuh dan ruang, yang tak bisa sepenuhnya diimitasi oleh mesin.

AI telah dan akan terus mengubah cara kita mencipta dan mengapresiasi seni. Namun, pada akhirnya, seni tetaplah ruang batin manusia. Ia bukan hanya tentang hasil, tapi proses perasaan, pencarian makna, dan keterhubungan antar manusia. Di era AI, mungkin semua orang bisa menciptakan seni. Tapi tidak semua bisa menghidupkannya.(artngalam.id/adm)