Share

Jejak yang Tak Hilang: Sejarah Membentuk Kota Malang

Malang hari ini dikenal sebagai kota wisata, kota pendidikan, kota kuliner. Tapi sebelum itu semua, Malang adalah sebuah titik penting dalam sejarah panjang Nusantara. Dari zaman Kerajaan Kanjuruhan, kolonialisme Belanda, hingga masa revolusi kemerdekaan, Malang menyimpan jejak yang masih bisa dibaca jika kita cukup peka dan peduli.

Di balik trotoar yang sibuk dan lalu lintas yang padat, berdiri diam bangunan tua, tugu perjuangan, dan cerita rakyat yang diwariskan dari generasi ke generasi. Inilah yang menjadikan Malang lebih dari sekadar kota ia adalah ruang hidup sarat makna.

Kanjuruhan: Asal Usul yang Agung

Sejarah Malang dimulai dari Kerajaan Kanjuruhan di abad ke-8, salah satu kerajaan tertua di Jawa Timur. Prasasti Dinoyo menjadi bukti tertulis pertama yang menyebut keberadaan kerajaan ini. Di situ tertulis tahun 760 M, menjadikan Malang sebagai salah satu pusat peradaban Jawa Kuno.

Warisan Hindu-Buddha dari masa ini masih bisa ditemukan di Candi Badut, Candi Wurung, dan Candi Songgoriti. Bukan sekadar peninggalan arkeologis, situs-situs ini menyimpan simbol-simbol kosmologi dan spiritualitas masyarakat masa lalu.

Kolonialisme dan Kota Modern

Lompatan besar terjadi di abad ke-19, ketika Belanda menjadikan Malang sebagai kota koloni penting di Jawa Timur. Dibangunlah infrastruktur modern: rel kereta api, sekolah ELS (Europeesche Lagere School), serta rumah-rumah bergaya Indische di sepanjang Jalan Ijen.

Era ini meninggalkan wajah kota yang khas perpaduan arsitektur kolonial dan tata ruang tropis yang masih bisa kita lihat hingga kini. Kawasan seperti Kayutangan Heritage dan Klojen menyimpan aura kuat, di mana masyarakat Eropa, Tionghoa, dan pribumi pernah hidup berdampingan.

Namun kolonialisme juga membawa luka. Rakyat ditindas, tanah dirampas. Maka lahirlah gerakan perlawanan. Malang menjadi titik penting dalam pergerakan nasional rumah bagi para aktivis, pengarang, dan pejuang kemerdekaan.

Revolusi: Malang Memilih Melawan

Saat Indonesia merdeka, Malang tak tinggal diam. Pada masa agresi militer Belanda II, kota ini menjadi basis gerilya. Rakyat Malang bahu-membahu bersama Tentara Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Peristiwa penting seperti Bandung Lautan Api juga terjadi versi Malangnya Malang Membara. Pada tahun 1947, pejuang membakar kota agar tidak direbut Belanda. Meski itu menyisakan kehancuran, Malang tak pernah menyerah.

Sisa-sisa perjuangan ini bisa disaksikan di Monumen Juang 45, Museum Brawijaya, dan juga cerita-cerita hidup dari para veteran yang masih mengingat ledakan, pengungsian, dan semangat juang.

Warisan yang Perlu Dihidupkan Kembali

Hari ini, Malang terus bergerak sebagai kota modern. Namun ironisnya, banyak warga—terutama generasi muda tidak lagi mengenal sejarah kotanya sendiri. Banyak bangunan tua terbengkalai, situs bersejarah terpinggirkan oleh pembangunan, dan cerita lokal perlahan terlupakan.

Namun ada juga gerakan perlawanan komunitas sejarah, tur kota tua, dan festival budaya yang mencoba menghidupkan kembali kesadaran sejarah warga kota. Di sinilah pentingnya merawat ingatan kolektif.

Malang bukan hanya kota tempat orang belajar dan berlibur. Ia adalah kota yang hidup dalam lapisan waktu di setiap candi, gang sempit, pohon tua, hingga kisah para leluhur.

Memahami sejarah Malang adalah belajar mencintai kota ini lebih dalam. Sebab dari jejak masa lalulah, kita bisa melihat arah masa depan. Dan Malang, dengan segala keindahan dan lukanya, menunggu untuk terus diceritakan.

“Kalau ingin mengenal Malang hari ini, maka tengoklah jejak sejarahnya. Ia bukan sekadar masa lalu-tapi fondasi cara kita hidup dan merasa sebagai orang Malang.”(adm)